Kamis, 29 November 2012

Renungan #49 : Kisah Bayi yang Diculik

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjminw9VdFn-fKX9pEiXcGiqJ0fADcL7Tsx6FN0xr1eQxWR9qxJCmt80glGuue3oZtsWGXDpT6GvhfO5Hm1nGTnDKf7lpipXJPLJ_S03d42ZmONEYmAxR-YE5MKa4AtrX7lhQiqgub1lV6M/s1600/A.jpg 
 Pada zaman dahulu kala, di pegunungan Andes, Amerika selatan, hidup dua suku yg saling bermusuhan. Suku Atas tinggal di atas gunung yg curam dan Suku Bawah yg tinggal di kaki gunung.

Suatu hari Suku Atas menyerang perkampungan Suku Bawah dan menculik seorang bayi perempuan Suku Bawah. Setelah penyerangan selesai, Kepala Suku bawah memerintah 6 orang anak muda yg gagah berani untuk berupaya mengembalikan bayi perempuan itu.

Selama 3 hari 3 malam, para pemuda tersebut berusaha mencari jalan naik ke pemukiman Suku Atas namun usaha mereka sia-sia karena terjalnya pegunungan itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerah, namun tiba-tiba mereka melihat seorang ibu menggendong bayi turun dari pegunungan yg terjal itu.

Para pemuda kaget melihatnya dan langsung bertanya. Bagaimana caranya Anda memanjat gunung yg terjal ini dan membawa pulang bayi itu sedangkan kami yg jauh lebih kuat daripada Anda tidak mampu melakukannya?

Raut muka wanita itu terlihat sangat tegar dan dengan emosi yg dalam ia menjawab, KARENA BAYI INI BUKAN BAYI ANDA.

Cerita sederhana itu menggambarkan bahwa jika seseorang mempunyai motif yg jelas dan besar, rintangan seberat apapun akan dihadapinya.

Renungan #48 : Kisah Niccolo Paganini

Niccolo Paganini, seorang pemain biola yang terkenal di abad 19, memainkan konser untuk para pemujanya yang memenuhi ruangan. Dia bermain biola dengan diiringi orkestra penuh.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f4/Nicolo_Paganini_by_Richard_James_Lane.jpg/170px-Nicolo_Paganini_by_Richard_James_Lane.jpg 
Tiba-tiba salah satu senar biolanya putus. Keringat dingin mulai membasahi dahinya tapi dia meneruskan memainkan lagunya. Kejadian yang sangat mengejutkan senar biolanya yang lain pun putus satu persatu hanya meninggalkan satu senar, tetapi dia tetap main. Ketika para penonton melihat dia hanya memiliki satu senar dan tetap bermain,mereka berdiri dan berteriak, "Hebat, hebat."

Setelah tepuk tangan riuh memujanya, Paganini menyuruh mereka untuk duduk. Mereka menyadari tidak mungkin dia dapat bermain dengan satu senar. Paganini memberi hormat pada para penonton dan memberi isyarat pada dirigen orkestra untuk meneruskan bagian akhir dari lagunya itu. Dengan mata berbinar dia berteriak, "Peganini dengan satu senar." Dia menaruh biolanya di dagunya dan memulai memainkan bagian akhir dari lagunya tersebut dengan indahnya. Penonton sangat terkejut dan kagum pada kejadian ini.

MAKNA: Hidup kita dipenuhi oleh persoalan, kekuatiran, kekecewaan dan semua hal yang tidak baik. Secara jujur, kita seringkali mencurahkan terlalu banyak waktu mengkonsentrasikan pada senar kita yang putus dan segala sesuatu yang kita tidak dapat ubah.

Apakah anda masih memikirkan senar-senar Anda yang putus dalam hidup Anda? Apakah senar terakhir nadanya tidak indah lagi? Jika demikian, saya ingin menganjurkan jangan melihat ke belakang, majulah terus, mainkan senar satu-satunya itu. Mungkinkanlah itu dengan indahnya.

Hidup itu indah...Nikmatilah. 

Renungan #47 : Kisah Pohon Apel

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdUOE_jk3pHUtdIv7EcOCrcaEecoDM1FdP6qZ_3y3Xy477aqAHdvOTQ9x02Ue99LTCcaa-xETQlPs6cyzU9yZ2462VzNlWLGnEMDzPQF6jmNh9gUBA3jXyj2ZSVy1LhOYML9b2P0p1VAGM/s320/kisah+pohon+apel+dan+seorang+anak.jpg 


Ada sebuah pohon apel besar tumbuh di halaman sebuah rumah. Anak kecil di keluarga tersebut suka bermain di sekitar pohon itu setiap hari. Memanjatnya, makan apel langsung ketika berbuah lebat, atau sekadar tidur di bawahnya saat panas terik.

Tak terasa waktu pun berlalu. Anak ini menjadi remaja. Suatu hari, ia menghampiri pohon apel tersebut.

"Ayo kita bermain lagi seperti dulu," ajak pohon apel.

"Wah, saya bukan lagi anak kecil. Sudah bukan jamannya memanjat pohon saja. Sekarang saya lagi bingung, butuh uang untuk mentraktir pacar saya."

"Saya hanya sebatang pohon, tidak punya uang. Tapi kalau kamu mau, silahkan ambil semua apel saya dan menjualnya. Jadi kamu punya uang untuk pacar kamu."

Anak itu gembira, ia lalu memetik semua apel di pohon itu dan pergi dengan pacarnya. Anak itu tak pernah kembali memperhatikan sang pohon apel.

Bertahun berlalu, anak itu kini menjadi lelaki dewasa. Suatu hari ia datang lagi menghampiri pohon apel tersebut.

"Sekarang kamu sudah dewasa, ada waktu untuk bermain dan mengenang masa lalu?" tanya pohon apel.

"Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya harus bekerja untuk keluarga. Dan sekarang sedang bingung karena kami tak punya rumah untuk berteduh."

"Oh kasihan. Kalau kamu mau silahkan potong cabang-cabang saya dan jadikan rumah untuk keluargamu."

"Benarkah?" tanya pria tersebut. Ia pun mengambil kapak dan memotong semua cabang di pohon apel hingga hanya tersisa batang utama saja. Pria itu lalu pergi membangun rumahnya dan tak pernah kembali.

Setelah bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba pria ini kembali lagi. Sebagian rambutnya sudah berwarna keperakan tanda usia yang matang.

"Apa kabar, kawan?" tanya pohon apel yang kini tanpa dedaunan lagi.

"Halo pohon apel. Sekarang saya sudah pensiun, dan ingin menikmati masa tua dengan berlayar sambil memancing."

"Oh saya tahu," tebak sang pohon apel. "Silahkan, bila kamu mau pakailah batang utama di tubuh saya dan jadikan perahu untukmu."

"Ah, terima kasih," sahut pria tersebut. Ia pun menebang batang pohon apel lalu menjadikannya perahu. Sang pohon apel terlupakan lagi. Walau perasaannya sungguh sedih, namun dibiarkan pria itu pergi.

Kini, setelah hampir 60 tahun berlalu, seorang pria tua renta pulang kembali ke rumah masa kecilnya. Tiba-tiba ia tersandung sesuatu. Ternyata akar pohon apel yang tersisa.

"Oh rupanya kamu pohon apel yang dulu," ujar pria tua tersebut.

"Apa kabar kawan masa kecil? Sekarang saya tinggal akar tua tersisa, tidak bisa mengajakmu bermain atau berteduh di bawah rimbun daun saya."

Pria tersebut hanya terdiam dan duduk di salah satu akar sang pohon apel. Dari matanya mengalir air mata bening, menitik jatuh di antara keriput wajahnya.

 
Moral Cerita 
Pohon apel melambangkan orang tua kita. Demikianlah, saat kita kecil senang bermain dengan ayah dan ibu. Seraya remaja dan dewasa kita meninggalkan mereka. Hanya sesekali datang pada mereka saat membutuhkan pertolongan.

Walau demikian, orang tua kita seperti pohon apel tersebut, selalu rela menolong dan berkorban agar kita bisa keluar dari kesulitan. Kasih orang tua memang tiada batas.

Semoga kita tidak seperti anak dalam cerita yang mengambil dan melupakan sang pohon apel begitu saja. Melainkan mau menghargai dan merawat orang tua agar masa tua mereka tak berakhir sedih laksana akar-akar pohon apel yang tersisa.